Minggu, 26 Juni 2016

FIQH DARAH WANITA

"Masa haid"
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan masa atau lamanya haid. Ada sekitar enam atau tujuh pendapat dalam hal ini.
Ibnu Al Mundzir mengatakan: “Ada kelompok yang berpendapat bahwa masa haid tidak mempunyai batasan berapa hari minimal atau maksimalnya”.
Pendapat ini seperti pendapat Ad Darimi di atas dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Dan itulah yang benar berdasarkan Al Qur’an, Sunnah dan logika.
Dalil pertama:
Firman Allah subhanahu wa ta'ala:
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “haid itu adalah suatu kotoran”, oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci…” (QS. Al Baqarah: 222).

Dalam ayat ini, yang dijadikan Allah sebagai batas akhir larangan adalah kesucian, bukan berlalunya sehari semalam, atau tiga hari, ataupun lima belas hari. Hal ini menunjukkan bahwa illat (alasan) hukum (larangan menjauhui istri) adalah haid, yakni ada atau tidaknya. Jadi, jika ada haid berlakulah hukum itu dan jika telah suci (tidak haid) tidak berlaku lagi hukum-hukum haid tersebut.
Dalil kedua:
Diriwayatkan dalam shahih Muslim bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Aisyah yang haid ketika dalam keadaan Ihram untuk umrah:
“lakukankanlah apa yang dilakukan jamaah haji, hanya saja jangan melakukan thawaf di Ka’bah sebelum kamu suci” (HR. Muslim: 4/30).
Kata Aisyah: “Setelah masuk hari raya kurban, barulah aku suci”.
Dalam shahih Al-Bukhari, diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Aisyah:
“Tunggulah, jika kamu suci, maka keluarlah ke Tan’im”.
Dalam hadits ini, yang dijadikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai batas akhir larangan adalah kesucian, bukan suatu masa tertentu, ini menunjukkan bahwa hukum tersebut berkaitan dengan haid, yakni ada dan tidaknya.
Dalil ketiga:
Bahwa pembatasan dan rincian yang disebutkan para fuqaha’ dalam masalah ini tidak terdapat dalam Al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal ini masalah penting, bahkan amat mendesak untuk dijelaskan. Seandainya batasan dan rincian tersebut termasuk yang wajib difahami oleh manusia dan diamalkan dalam beribadah kepada Allah subhanahu wa ta'ala, niscaya telah dijelaskan secara gamblang oleh Allah dan Rasul-Nya kepada setiap orang, mengingat pentingnya hukum-hukum yang diakibatkannya yang berkenaan dengan shalat, puasa, nikah, talak, warisan, dan hukum lainnya. Sebagaimana Allah dan Rasul-Nya telah menjelaskan tentang shalat: jumlah bilangan rakaatnya, waktu-waktunya, ruku’ dan sujudnya; tentang zakat: jenis hartanya, nisabnya, persentasenya, dan siapa yang berhak menerimanya, tentang puasa; waktu dan masanya, tentang haji dan masalah-masalah lainnya, bahkan tentang etika makan, minum, tidur, jima’ (hubungan suami-istri), duduk, masuk dan keluar rumah, buang hajat,, sampai jumlah bilangan batu untuk bersuci dari buang hajat, dan perkara-perkara lainnya baik yang kecil maupun yang besar, yang merupakan kelengkapan agama dan kesempurnaan nikmat yang dikaruniakan Allah kepada kaum mu’minin.
Firman Allah ta’ala:
“…Kami turunkan kepadamu Kitab (Al Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu." (QS. An Nahl: 89).

“…Al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu…". (QS. Yusuf: 111).

Oleh karena itu pembatasan dan rincian tersebut tidak terdapat dalam Kitab Allah dan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka nyatalah bahwa hal itu tidak dapat dijadikan patokan. Namun, yang sebenarnya dijadikan patokan adalah keberadaan haid, yang telah dikaitkan dengan hukum-hukum syara’ menurut ada atau tidak adanya haid.
Dalil ini –yakni suatu hukum tidak dapat diterima jika tidak terdapat dalam Kitab dan Sunnah- berguna bagi anda dalam masalah ini dan masalah-masalah ilmu agama lainnya, karena hukum syar’i tidak dapat ditetapkan kecuali berdasarkan dalil syar’i dari kitab Allah, atau Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau ijma’ yang diketahui, atau qiyas yang shahih.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam salah satu kaidah yang dibahasnya mengatakan: “Di antara sebutan yang dikaitkan oleh Allah dengan berbagai hukum dalam Kitab dan Sunnah yaitu sebutan haid. Allah tidak menentukan batas minimal dan maksimalnya, ataupun masa suci di antara dua haid. Padahal umat membutuhkannya dan banyak cobaan yang menimpa mereka karenanya. Bahasapun tidak membedakan antara satu batasan dengan batasan lainnya. Maka barang siapa menentukan suatu batasan dalam masalah ini, berarti ia telah menyalahi Kitab dan Sunnah. (Risalah fil asmaa allati ‘allaqa Asy Syaari al ahkaama bihaa, hal: 35).
Dalil keempat:
Logika atau qiyas yang benar dan umum sifatnya. Yakni, bahwa Allah menerangkan illat (alasan) haid sebagai kotoran. Maka manakala haid itu ada, berarti kotoranpun ada. Tidak ada perbedaan antara hari kedua dengan hari pertama, antara hari keempat dengan hari ketiga. Juga tidak ada perbedaan antara hari ke enam belas dengan hari ke lima belas, atau hari ke delapan belas dengan hari ke tujuh belas. Haid adalah haid dan kotoran adalah kotoran. Dalam kedua hari tersebut terdapat illat yang sama. Jika demikian, bagaimana mungkin dibedakan dalam hukum di antara kedua hari itu, padahal keduanya sama dalam illat? Bukankah menurut Qiyas yang benar bahwa kedua hari tersebut sama dalam hukum karena kesamaan keduanya dalam illat?
Dalil kelima:
Adanya perbedaan dan silang pendapat di kalangan ulama yang memberikan batasan menunjukkan bahwa dalam masalah ini tidak ada dalil yang harus dijadikan patokan. Namun semua itu merupakan hukum-hukum ijtihad yang bisa salah dan juga bisa benar, tidak ada satu pendapat yang lebih patut diikuti dari pada lainnya. Dan yang menjadi acuan bila terjadi perselisihan pendapat adalah Al-Qur’an dan Sunnah.
Jika ternyata pendapat yang menyatakan tidak ada batas minimal atau maksimal haid adalah pendapat yang kuat dan yang rajih, maka perlu diketahui bahwa setiap kali wanita melihat darah alami, bukan di sebabkan luka atau lainnya, berarti darah itu darah haid, tanpa mempertimbangkan masa atau usia. Kecuali jika keluarnya darah itu terus-menerus tanpa henti atau berhenti sebentar saja seperti sehari atau dua hari dalam sebulan, maka darah tersebut adalah darah istihadhah. Dan akan dijelaskan Insya Allah, tentang istihadhah dan hukum-hukumnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: “Pada prinsipnya, setiap darah yang keluar dari rahim adalah haid. Kecuali jika ada bukti yang menunjukkan bahwa darah itu istihadhah.”
Kata beliau pula: “Maka darah yang keluar adalah haid, bila tidak diketahui darah penyakit atau karena luka.”
Pendapat ini sebagaimana merupakan pendapat yang kuat berdasarkan dalil, juga merupakan pendapat yang paling dapat dipahami dan dimengerti serta lebih mudah diamalkan dan diterapkan dari pada pendapat
mereka yang memberikan batasan. Dengan demikian, pendapat inilah yang lebih patut diterima karena sesuai dengan akidah agama Islam, yaitu mudah dan gampang.
Firman Allah subhanahu wa ta'ala:
“Dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan” (QS. Al Hajj: 78).
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Sungguh agama (Islam) itu mudah, dan tidak seseorangpun yang mempersulit (berlebih-lebihan) dalam agamanya kecuali akan terkalahkan. Maka berlakulah lurus, sederhana (tidak melampaui batas) dan sebarkan kabar gembira” (HR. Al Bukhari).
Dan di antara akhlak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa jika beliau diminta memilih dua perkara, maka dipilihnya yang termudah selama tidak merupakan perbuatan dosa.
Facebook Twitter Google+
Back To Top