Pendidikan karakter menjadi wacana yang ramai dibicarakan di dunia
pendidikan maupun di kalangan masyarakat umum. Kebutuhan akan pendidikan yang
dapat melahirkan manusia Indonesia yang berkualitas, sangat dirasakan karena
degradasi moral yang terus menerus terjadi pada generasi bangsa ini nyaris
membawa bangsa ini pada kehancuran. Budaya korupsi merupakan bukti nyata akan
degradasi moral dan hilangnya kejujuran dari generasi bangsa ini. Itu semua
disebabkan karena kurangnya pemahaman akan pentingnya mempelajari pendidikan
karakter. Fitri (2012: 19) mengatakan bahwa pendidikan karakter memiliki
beragam istilah dan pemahaman antara lain pendidikan Akhlāq, budi pekerti,
nilai, moral, etika dan lain sebagainya. Pendidikan karakter tidak bisa berdiri
sendiri, tetapi harus dibangun dengan melibatkan semua komponen yang ada.
Contohnya dalam pendidikan formal, keterlibatan kepala sekolah, guru dan
orangtua siswa yang sangat besar dalam menentukan keberhasilannya.
Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 13 Ayat 1 jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Pendidikan informal sesungguhnya memiliki peran dan kontribusi yang sangat besar dalam keberhasilan pendidikan. Menurut Fitri (2012: 13) Peserta didik mengikuti pendidikan di sekolah hanya sekitar 7 jam per hari, atau kurang dari 30%. Selebihnya, 70%, peserta didik berada dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. apabila dilihat dari aspek kuantitas waktu, pendidikan di sekolah berkontribusi hanya sebesar 30% terhadap hasil pendidikan peserta didik. Konteksnya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia, diyakini bahwa nilai dan karakter yang secara legal-formal dirumuskan sebagai fungsi dan tujuan pendidikan nasional, harus dimiliki peserta didik agar mampu menghadapi tantangan hidup pada saat ini dan di masa yang akan datang. Dalam pandangan Islām, karakter itu sama dengan Akhlāq. Menurut Tafsir (Majid dan Andayani, 2012: iv) dikatakan bahwa kepribadian itu komponennya tiga yaitu tahu (pengetahuan), sikap dan prilaku. Yang dimaksud kepribadian utuh ialah bila pengetahuan sama dengan perilaku. Kepribadian pecah ialah bila pengetahuan sama dengan sikap tetapi tidak sama dengan perilakunya atau pengetahuan tidak sama dengan sikap, tidak sama dengan perilaku. Dia tahu jujur itu baik dia siap menjadi orang jujur, tetapi perilakunya sering tidak jujur, ini contoh kepribadian pecah (split personality).
Para nabi diutus Tuhan untuk menyempurnakan Akhlāq manusia, supaya manusia
itu dapat melaksanakan tugasnya, tugas manusia ialah menjadi manusia. Inilah
takdir bagi manusia, manusia harus menjadi manusia. Kelaknya, inilah tugas
pendidikan yaitu membantu manusia menjadi manusia. Jalaluddin (2012: 105) berpendapat bahwa Manusia adalah makhluk
alternatif dan juga makhluk eksploratif. Disebut makhluk alternatif, karena
manusia memiliki kemampuan untuk menentukan pilihan dalam menjalani
kehidupannya. Disebut makhluk eksploratif, karena manusia memiliki potensi
untuk berkembang dan dikembangkan. Sesungguhnya manusia diciptakan oleh Allāh
SWT adalah paling sempurna dibandingkan dengan makhluk yang lainnya. Hal ini
tertuang dalam Al-Qur`ān surah Al-Tīn ayat 4
“sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.
Karakter yang paling
“mahal” sekarang ini barangkali kejujuran. Mengapa demikian?
Kita semua tahu betapa sulitnya menemukan kejujuran itu. Sebuah sisi yang kini banyak terlalaikan
sepanjang perjalanan membimbing seorang anak adalah kejujuran. Kadang terjadi, orang tua tidak memberikan
teguran ketika melihat si anak berbohong kepada temannya. Terkadang pula justru
orang tua memberikan contoh buruk kepada si anak dengan berbuat dusta. Bahkan
yang lebih parah lagi, orang tua menyuruh si anak untuk berbohong demi
keuntungan atau kesenangan orang tuanya. Menurut Fitri (2012: 112) kejujuran dan kebajikan selalu terkait
dengan kesan terpercaya, dan terpercaya selalu terkait dengan kesan tidak
berdusta, menipu, atau memperdaya. Hal ini terwujud dalam tindak dan perkataan.
Semua pihak percaya bahwa hakim dapat mempertaruhkan integritasnya dengan
membuat keputusan yang fair. Ia terpercaya karena keputusannya
mencerminkan kejujuran. Sedangkan Majid dan Andayani (2012: 42) mengatakan
bahwa kejujuran didefinisikan sebagai sebuah nilai karena perilaku
menguntungkan baik bagi yang memperaktikan maupun bagi orang lain yang terkena
akibatnya. Faktor-faktor penyebab hilangnya kejujuran di antaranya faktor
lingkungan, kurangnya kesadaran diri, kurangnya keimanan dan kurangnya
pendidikan dalam membentuk karakter yang sesuai dengan ajaran agama Islām. Allāh
memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya agar senantiasa berbuat jujur:
“Wahai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kalian kepada Allāh dan jadilah kalian bersama orang-orang
yang jujur.” (Al-Taubaħ.[9]: 119)
Dalam pengertian yang sederhana menurut Samani dan
Hariyanto (2012: 43) pendidikan karakter adalah hal positif apa saja yang
dilakukan oleh guru dan berpengaruh kepada karakter siswa yang diajarnya.
Pendidikan karakter telah menjadi sebuah pergerakan pendidikan yang mendukung
pengembangan sosial, pengembangan emosional, dan pengembangan etik para siswa.
Untuk mewujudkan pendidikan karakter yang sesuai dengan ajaran Islām, siswa
dapat memepelajarinya melalui sekolah atau madrasah. Madrasah Tsanawiyah di
lingkungan Pesantren memiliki kelebihan dalam menerapkan pendidikan karakter. Dengan program full day implementasi pendidikan
karakter lebih terpantau karena semua kegiatan siswa telah terjadwal dan
terpantau 24 jam. Sistem Pesantren juga menekankan pada pendidikan kemandirian.
Aplikasi pembelajaran lebih mudah dilaksanakan. Selain itu, metodologi
pendidikan karakter berupa keteladanan dan pengajaran akan lebih terarah dan
efektif. Implementasi pendidikan karakter tidak hanya berlangsung di asrama saja,
namun juga terjadi sinkronisasi antara pendidikan di asrama dan kegiatan di lingkungan Pesantren.
Dalam pemakaian sehari hari, istilah Pesantren sering
kali disebut dengan pondok saja atau kedua kata ini digabung menjadi pondok Pesantren.
Pondok Pesantren berarti, suatu lembaga pendidikan agama Islām yang tumbuh
serta diakui masyarakat sekitarnya dengan sistem asrama (pemondokan di dalam komplek). Pondok Pesantren dinilai sebagai benteng
pembangunan karakter dan pusat pendidikan karakter bangsa dengan pola pembinaan
dilangsungkan selama 24 jam. Pondok Pesantren merupakan
institusi pendidikan yang menaruh perhatian besar terhadap pembangunan karakter
para peserta didiknya. Bagi Pesantren pembangunan
karakter santri di atas segala-galanya. Variabel terbesar keberhasilan
pendidikan di Pesantren adalah karakter. Pembangunan karakter menjadi perhatian
besar bagi kebanyakan Pesantren di tanah Air. Penyelenggaraan pendidikan
di Pesantren umumnya selalu diprioritaskan pada penggemblengan masalah
karakter.
Tafsir
(2010: 191), mengatakan bahwa Pesantren adalah lembaga
pendidikan Islām yang tertua di Indonesia, setelah rumah tangga. Sekalipun
demikian, perhatian para peneliti terhadap Pesantren belum begitu lama
dimulai. Hasil-hasil penelitian itu sudah diedarkan berupa makalah,
buku dan majalah. Banyak juga jumlahnya namun masih banyak “rahasia” Pesantren
yang belum diungkapkan oleh para peneliti. Sebagian dari yang
belum diungkapkan itu adalah bagian-bagian yang memang amat sulit diungkapkan. Pesantren
sebagai komunitas dan sebagai lembaga pendidikan yang besar jumlahnya dan luas
penyebarannya di berbagai pelosok tanah air telah banyak memberikan saham dalam
pembentukan manusia Indonesia yang religius. Lembaga Pesantren telah melahirkan
banyak pemimpin bangsa di masa lalu, kini dan agaknya juga di masa yang akan
datang.
Pendidikan di
Pondok
Pesantren dijadikan bukti pendukung masyarakat yang cukup kuat, yang mampu
menggerakan gairah kependidikan. Menurut Noor (2006: 130)
dalam sistem pendidikan nasional disebutkan di antara tujuan pendidikan adalah
menciptakan manusia Indonesia yang memiliki kepribadian mantap dan mandiri
serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Oleh sebab itu,
pendidikan yang diselenggarakan pondok Pesantren dikembangkan tidak hanya
berdasarkan pada pendidikan keagamaan semata, melainkan dalam pondok Pesantren
tersebut diarahkan pembinaan mental dan sikap santri untuk hidup mandiri,
meningkatkan keterampilan dan berjiwa entrepreneurship. Mengingat
lembaga pendidikan pondok Pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di negeri
ini, maka tidaklah heran ketika banyak para pemimpin, penguasa, elit politik,
serta banyak lagi orang-orang pintar yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat,
mereka adalah hasil pendidikan dan pengajaran pondok Pesantren. Manfaat lain
yang banyak dirasakan oleh masyarakat, melalui pendidikan dan pengajaran di
pondok Pesantren tidak diperlukan biaya mahal, sehingga dapat dijangkau oleh
masyarakat ekonomi lemah sekali pun, terutama di daerah pedesaan. Namun
demikian, tidak berarti pendidikan yang murah tidak menghasilkan kualitas,
bahkan sebaliknya.
Pola pembinaan santri selama 24 jam yang dilakukan Pesantren ditujukan untuk membina karakter.
Dengan pola 24 jam santri tinggal di asrama, kiai dan guru dapat mengontrol
prilaku santri dan mengarahkannya sesuai dengan karakter Islām. Pembinaan
selama 24 jam sebagai wujud keseriusan Pesantren dalam membina karakter santri.
Dengan tinggal dalam asrama selama 24 jam, pihak Pesantren dapat melakukan
kontrol secara ketat perkembangan karakter santri. Pola pembinaan 24 jam yang
dikembangkan Pesantren, memudahkan Pesantren dalam menanamkan nilai-nilai
karakter kepada para santri. Pesantren merupakan kawah candradimuka pendidikan
karakter bangsa. Pesantren memberikan kontribusi signifikan dalam membangun
moralitas dan karakter bangsa. Pesantren telah berkontribusi sebelum republik berdiri.
Bahkan Pesantren telah berkembang sejak zaman Wali Songo beberapa abad silam,
memberikan kontribusi bagi pembinaan karakter bangsa.
Dengan menyadari pentingnya
pendidikan karakter, pendidikan pondok Pesantren banyak diterapkan dalam
pendidikan di sekolah berbasis asrama. Hal ini dapat memupuk kemandirian siswa
dalam kehidupan sehari-hari karena siswa dapat belajar hidup mandiri di asrama.
Sekolah berbasis asrama mempunyai misi untuk menerapkan pendidikan karakter
secara kaffaħ. Sebab dalam sekolah berasrama kehidupan siswa lebih terpantau
sehingga diharapkan penanaman pendidikan karakter lebih kondusif. Namun demikian, masih banyak
siswa yang tinggal diasrama belum dapat mencapai misi yang dicanangkan,
dikarenakan belum efektifnya model pendidikan yang diajarkan. Hal ini menimbulkan kerancuan
tentang efektifitas pendidikan karakter di Madrasah Tsanawiyah
dilingkungan Pondok Pesantren. Oleh kerena itu, model pendidikan karakter kejujuran pada
Madrasah Tsanawiyah di lingkungan Pesantren sangat menarik untuk diteliti. Penelitian ini akan mengambil
obyek Madrasah Tsanawiyah Pondok
Pesantren Modern Al-Ihsan Baleendah Bandung yang juga menerapkan pola
pendidikan berasrama. www.pesantrenalihsanbe.or.id