Tidak pernah aku bayangkan sebelumnya kalau ayah akan mengizinkan aku melihat ustad Imron walaupun hanya sekejap. Aku sangat bahagia saat melihat wajahnya, wajah yang tak pernah aku lihat sebelumnya. Wajah nya yang selalu dibasahi oleh air wudlu’, membuatku tidak ingin memalingkan pandanganku darinya. Keimanan dan ketakwaannya membuat hatiku bergetar. Dia adalah pemuda tampan yang mewaqofkan seluruh jiwa dan raganya di jalan allah. Ingin sekali aku mendengar suaranya disaat menyampaikan mauidotulhasanah di masjidnya, dan ingin rasanya aku belajar tentang agama kepadanya seperti gadis-gadis tetanggaku yang diizinkan oleh ayahnya untuk belajar di rumah ustad Imron. namun itu hanyalah sebuah hayalan yang tidak mungkin aku gapai. Karen aaku adalah seorang Anisa yang tidak pernah diizinkan oleh ayahku untuk keluar rumah walaupun hanya sedetik, sekolah pun aku tidak boleh keluar rumah, karena ayahku sudah mendatangkan guru untuk mengajariku. Dan semua gurunya adalah wanita, baik yang guru pelajaran umum maupun agama.
Meskipun aku tidak pernah keluar, namun aku tidak merasa bosan ataupun merasa terkekang dengan dengan keadaanku yang seperti ini. Karena aku sadar ayahku melakukan semua ini agar aku menjadi anak yang sholehah. Seorang wanita yang buta akan kemaksiatan dan juga tuli akan kemaksiatan.
Meskipun aku tidak pernah melihat laki-laki kecuali satu yaitu melihat ustad Imron. Dan tidak pernah mengenal laki-laki, namun aku yakin aku pasti mempunyai jodoh. Karena jodoh itu ada di tangan tuhan. Tidak perlu dicari akan datang sendiri, dan tidak perlu dikenal akan akrab sendiri. “yaallah kenapa aku lakukan ini? Melihat ustad Imron yang bukan mahromku,” gumamku dalam hati dengan perasaan menyesal, “astaghfirullh hil adzim” ucapku dengan penuh sesal, aku telah melakukan mata yang akan membuat ilmuku hilanag, karena kata guruku, ilmu itu bagaikan sebuah cahaya, hati adalah cerminya dan maksiat adalah debu. Ketika cermin terkena debu maka cahaya tidak akan menembus cermin yang berdebu. Begitupun dengan ilmu, ilmu tidak akan sampai ke hati jika hati banyak maksiatnya.
Akhir-akhir ini aku heran dengan perasaanku, entah kenapa aku selalu ingat wajah ustad Imron, walau hanya pernah melihat satu kali, kata guru ngajiku ustad Imron adalah seorang pemuda yang sangat tampan dan tidak pernah mau melakukan dosa, meskipun hanya dosa kecil, katanya dia sangat waro’. “Yaallah keanapa aku membayangkan nya? Bukankah ini yang disebut dengan maksiat hati? Astaghfirullah!” dengan segera ku ucapkan kaimamt istighfar sebanyak-banyaknya, dengan hati yang pennuh kehusu’an.
Saat aku baru selesai melaksanakan sholat dluhur tiba-tiba ayah menghampiriku, “Anisa anakku”
“iya ayah ada apa?”
“bolehkah ayah meminta bantuanmu?
“dengan senang hati ayah, aku akan membantu”
“nak tolong antarkan kue in ke rumahnya ustad Imron” ucap ayah sambil menunjukkan kue yang harus aku bawa ke rumah ustad Imron.
“apa?” ucapku kaget
“apakah ayah tidak khawatir jika Anisa berkunjung ke rumah seorang pemuda yang masih belum mempunyai seorang istri?”
“tidak, ayah percya padamu nak! Umurmu sudah 22 tahun, dan kau tidak pernah membantah ayah, ayah yakin kau wanita sholehah madu dunia”
“terimakasih ayah atas kepercayaannya, kalau begitu, Anisa mohon pamit, tapi Anisa tidak tahu rumahnya ustad Imron?”
Lalu ayah mengajakku ke kamarku, dan ayah membuka jendela kamarku,
“apakah kamu tidak pernah membuka jendela kamarmu ini nak?”
“tidak ayah”
“subhanallah, kau benar_benar anak yang sholehah! lihatlah dari sini terlihat jelas rumah ustad Imron, disana hanya ada satu rumah, satu masjid, dan satu bangunan lagi, itu adalah tempat untuk para santri ustad Imron belajar, apakah kau sudah tahu bagaimana kiranya sampai ke rumah ustad Imron?”
“iya ayah”
“ya sudah berangkatlah hati-hati”
“assalamualaikum”
“waalaikumsalam”
“iya ayah ada apa?”
“bolehkah ayah meminta bantuanmu?
“dengan senang hati ayah, aku akan membantu”
“nak tolong antarkan kue in ke rumahnya ustad Imron” ucap ayah sambil menunjukkan kue yang harus aku bawa ke rumah ustad Imron.
“apa?” ucapku kaget
“apakah ayah tidak khawatir jika Anisa berkunjung ke rumah seorang pemuda yang masih belum mempunyai seorang istri?”
“tidak, ayah percya padamu nak! Umurmu sudah 22 tahun, dan kau tidak pernah membantah ayah, ayah yakin kau wanita sholehah madu dunia”
“terimakasih ayah atas kepercayaannya, kalau begitu, Anisa mohon pamit, tapi Anisa tidak tahu rumahnya ustad Imron?”
Lalu ayah mengajakku ke kamarku, dan ayah membuka jendela kamarku,
“apakah kamu tidak pernah membuka jendela kamarmu ini nak?”
“tidak ayah”
“subhanallah, kau benar_benar anak yang sholehah! lihatlah dari sini terlihat jelas rumah ustad Imron, disana hanya ada satu rumah, satu masjid, dan satu bangunan lagi, itu adalah tempat untuk para santri ustad Imron belajar, apakah kau sudah tahu bagaimana kiranya sampai ke rumah ustad Imron?”
“iya ayah”
“ya sudah berangkatlah hati-hati”
“assalamualaikum”
“waalaikumsalam”
Dengan bacaan do’a ketika keluar rumah kulangkahkan kakiku, aku keluar dari rumah dengan hati yang takut, aku takut untuk menoleh ke kanan dan ke kiri, dengan langkah yang secepat mungkin aku berjalan menuju ke rumah ustad Imron. kata ayah ustad Imron sekarang sendirian di rumahnya karena tiga hari yang lalu ayah dan ibuanya pergi ke tanah suci mekkah untuk melaksanakan umroh.
Setelah beberapa menit kemudian aku pun sampai di rumah ustad Imron “Alhamdulillah aku tidak bertemu dengan seorang pun di jalan” gumamku dalam hati, aku merasa gugup disaat mengetuk daun pintu rumah ustad Imron, dan suaraku gemetar disaat mengucapkan salam, dari dalam terdengar suara orang yang menjawab salamku. Lalu ustad Imron membukakan pintu rumahnya dan mempersilahkan aku untuk masuk,
“Anisa iya?” Tanya ustad Imron
“iya, sebelumnya saya minta ma’af karena sudah mengganggu, ini ada titipan dari ayah!” ucapku dengan pandangan ke bawah karena aku tidak mau melakukan maksiat mata, melihat seorang laki-laki yang bukan mahromku, aku pun mengulurkan tanganku untuk memberikan kue yang ayah titipkan. Namun betapa terkejutnya saat aku menyadari, ternyata bukan kue yang ada di tanganku yang dia pegang, dia memegang tanganku, dengan serentak aku melepaskan tanganya dan membiarkan kue itu terjatuh ke lantai, spontan aku menampar pipi kanan ustad Imron,
“kurang ajar!!!” ucapku marah
“anisa tunggu, aku bisa menjelaskan ini semua,”
Terdengar suara ustad Imron dari belakangku, namun aku tidak menghiraukannya aku terus berlari secepat mungkin agar aku segera sampai di rumahku.
“aku benci ustad Imron, dia tidak menghargaiku sebagai wanita yang selalu dijaga dari kecil hingga umur 22 tahun” gumamku dalam hati sambil berlari
“Anisa iya?” Tanya ustad Imron
“iya, sebelumnya saya minta ma’af karena sudah mengganggu, ini ada titipan dari ayah!” ucapku dengan pandangan ke bawah karena aku tidak mau melakukan maksiat mata, melihat seorang laki-laki yang bukan mahromku, aku pun mengulurkan tanganku untuk memberikan kue yang ayah titipkan. Namun betapa terkejutnya saat aku menyadari, ternyata bukan kue yang ada di tanganku yang dia pegang, dia memegang tanganku, dengan serentak aku melepaskan tanganya dan membiarkan kue itu terjatuh ke lantai, spontan aku menampar pipi kanan ustad Imron,
“kurang ajar!!!” ucapku marah
“anisa tunggu, aku bisa menjelaskan ini semua,”
Terdengar suara ustad Imron dari belakangku, namun aku tidak menghiraukannya aku terus berlari secepat mungkin agar aku segera sampai di rumahku.
“aku benci ustad Imron, dia tidak menghargaiku sebagai wanita yang selalu dijaga dari kecil hingga umur 22 tahun” gumamku dalam hati sambil berlari
Setelah sampai di rumah, aku langsung memeluk ayah ku yang sedang berdiri di dekat akuarium,
“ayah ustad Imron kurang ajar, berani-beraninya dia memegang tanganku.” ucapku sambil menangis
“anakku pandanglah ayah!” kata ayah sambil melepaskan pelukannya, ayah tersenyum padaku, dengan sangat lembut dia menghapus air mataku, tidak biasanya ayah bersikap seperti itu. Biasanya ayah paling tidak suka ada cowok yang bersikap kurang aja padaku,
“ayah kenapa tidak marah? Ayah rela Anisa disentuh laki-laki yang bukan mahromku?”
“Anisa anakku sebenarnya ustad Imron itu adalah mahrommu, tiga hari yang lalu sebelum ayah dan ibunya ustad Imron berangkat ke tanah suci, ayah telah menikahkan mu dengan ustad Imron. seandainya ustad Imron bukan mahrohmu, tentunya ayah tidak akan mengizinkanmu untuk pergi ke rumahnya. Jadi sekarang ustad Imron adalah suamimu, apakah kamu tidak siap untuk menjadi istrinya ustad Imron?”
“jika dia adalah laki-laki yang menjadi imamku fiddunya wal akhiroh maka dengan senang hati Anisa akan menerimanya, tapi Anisa malu kepada ustad Imron, karena barusan aku menamparnya, aku harus meminta ma’af kepadanya ayah.”
“aku sudah mema’afkanmu Anisa!” terdengar suar ustad Imron dari arah pintu, serentak aku dan ayah menoleh ke asal suara tersebut.
“nak Imron masuklah!” ucap ayah untuk mempersilahkan ustad Imron masuk ke rumah ku, dia mendekatiku.
“Anisa ma’afkan aku”
“ini bukan salahmu nak Imron, ini salah ayah tidak memberitahukan Anisa kalau kau sudah sah menjadi suaminya” potong ayah.
“Anisa apakah kau bersedia menjadi istriku?”
Aku tidak menjawab pertanyaan ustad Imron, aku hanya tersenyum malu, dan hatiku sangat bahagia karena sejak pertama aku mendengrar cerita tentangnya aku menyukainya, dan saat aku melihatnya aku selalu merindukanya.
“nak Imron, kau tidak perlu mendengar jawaban darianya, karena pipi merahnya telah membuktikan kalau sebenarnya dia juga mencintaimu!”
“ayah… kenapa ayah lakukan ini pada Anisa? Kenapa ayah tidak meminta persetujuanku terlebih dahulu?”
“karena ayah tahu kalau kamu juga mencitai ustad Imron, dan kebetulan ustad Imron juga mencintaimu, kalau sudah tahu kenapa ayah harus bertanya!”
Aku tak bisa berkutik aku hanya bisa mengikuti kata ayah,
“ayah ustad Imron kurang ajar, berani-beraninya dia memegang tanganku.” ucapku sambil menangis
“anakku pandanglah ayah!” kata ayah sambil melepaskan pelukannya, ayah tersenyum padaku, dengan sangat lembut dia menghapus air mataku, tidak biasanya ayah bersikap seperti itu. Biasanya ayah paling tidak suka ada cowok yang bersikap kurang aja padaku,
“ayah kenapa tidak marah? Ayah rela Anisa disentuh laki-laki yang bukan mahromku?”
“Anisa anakku sebenarnya ustad Imron itu adalah mahrommu, tiga hari yang lalu sebelum ayah dan ibunya ustad Imron berangkat ke tanah suci, ayah telah menikahkan mu dengan ustad Imron. seandainya ustad Imron bukan mahrohmu, tentunya ayah tidak akan mengizinkanmu untuk pergi ke rumahnya. Jadi sekarang ustad Imron adalah suamimu, apakah kamu tidak siap untuk menjadi istrinya ustad Imron?”
“jika dia adalah laki-laki yang menjadi imamku fiddunya wal akhiroh maka dengan senang hati Anisa akan menerimanya, tapi Anisa malu kepada ustad Imron, karena barusan aku menamparnya, aku harus meminta ma’af kepadanya ayah.”
“aku sudah mema’afkanmu Anisa!” terdengar suar ustad Imron dari arah pintu, serentak aku dan ayah menoleh ke asal suara tersebut.
“nak Imron masuklah!” ucap ayah untuk mempersilahkan ustad Imron masuk ke rumah ku, dia mendekatiku.
“Anisa ma’afkan aku”
“ini bukan salahmu nak Imron, ini salah ayah tidak memberitahukan Anisa kalau kau sudah sah menjadi suaminya” potong ayah.
“Anisa apakah kau bersedia menjadi istriku?”
Aku tidak menjawab pertanyaan ustad Imron, aku hanya tersenyum malu, dan hatiku sangat bahagia karena sejak pertama aku mendengrar cerita tentangnya aku menyukainya, dan saat aku melihatnya aku selalu merindukanya.
“nak Imron, kau tidak perlu mendengar jawaban darianya, karena pipi merahnya telah membuktikan kalau sebenarnya dia juga mencintaimu!”
“ayah… kenapa ayah lakukan ini pada Anisa? Kenapa ayah tidak meminta persetujuanku terlebih dahulu?”
“karena ayah tahu kalau kamu juga mencitai ustad Imron, dan kebetulan ustad Imron juga mencintaimu, kalau sudah tahu kenapa ayah harus bertanya!”
Aku tak bisa berkutik aku hanya bisa mengikuti kata ayah,
Setelah berpamitan kepada ayah aku pun keluar dari rumah mengikuti langkah kaki ustad Imron, setelah sampai di depan rumah ku usatad Imron menghentikan langkahnya, aku pun ikut berhenti di dekatnya. Tanpa komentar dia pun merangkulku, dia dan aku berjalan menuju rumahnya dengan bergandengan,
Setelah sampai di rumahnya, dia pun mempersialhkan aku untuk masuk ke dalam rumahnya. “Anisa aku sangat mencintaimu1” ucapnya sambil memegang mesra tanganku, dia mencium keninngku. Masallah, kehangatan energi cintanya yang tulus meresap sampai ke lubuk hatiku yang sangat dalam. Energi cinta yang dirahmati allah mengalir lembut di sekujur tubuhku.
Setelah sampai di rumahnya, dia pun mempersialhkan aku untuk masuk ke dalam rumahnya. “Anisa aku sangat mencintaimu1” ucapnya sambil memegang mesra tanganku, dia mencium keninngku. Masallah, kehangatan energi cintanya yang tulus meresap sampai ke lubuk hatiku yang sangat dalam. Energi cinta yang dirahmati allah mengalir lembut di sekujur tubuhku.
Hari itu adalah hari terindah dalam hidupku, allah telah mempertemukan citaku dan cintanya menuju cinta allah yang kekal abadi dengan rahmatnya. Desiran angin yang berhembus manja menambah keindahan dan kemesraan di pelukannya. Aku telah menajadi miliknya. "Chasanah"